Selasa, 01 Juli 2014

SEJARAH AJI

Sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis
berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka
menandatangani Deklarasi Sirnagalih, serta mengumumkan berdirinya AJI.


Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan
komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru.
Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994.
Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada
penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas
sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah
kota.



Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100
orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih,
Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi
Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik
atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk
jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.



Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena
itu, operasi organisasi ini di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan
oleh dua puluhan jurnalis-aktivis. Untuk menghindari tekanan aparat
keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara
tertutup. Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif
untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya
memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.



Selain demonstrasi dan mengecam tindakan represif terhadap media,
organisasi yang dibidani oleh individu dan aktivis Forum Wartawan
Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY),
Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI)
Jakarta ini juga menerbitkan majalah alternatif Independen, yang
kemudian menjadi Suara Independen.

Gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu
Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke
penjara, Maret 1995. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3
tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit
AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.



Selain itu, para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang
geraknya. Pejabat Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia
juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak
memperkerjakan mereka di medianya.



Konsistensi dalam memperjuangkan misi inilah yang menempatkan AJI berada
dalam barisan kelompok yang mendorong demokratisasi dan menentang
otoritarianisme. Inilah yang membuahkan pengakuan dari elemen gerakan
pro demokrasi di Indonesia, sehingga AJI dikenal sebagai pembela
kebebasan pers dan berekspresi.



Pengakuan tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari manca
negara. Diantaranya dari International Federation of Journalist (IFJ),
Article XIX dan International Freedom Expression Exchange (IFEX). Ketiga
organisasi internasional tersebut kemudian menjadi mitra kerja AJI.
Selain itu banyak organisasi-organisasi asing, khususnya NGO
internasional, yang mendukung aktivitas AJI. Termasuk badan-badan PBB
yang berkantor di Indonesia.



AJI diterima secara resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis
terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels,
Belgia, pada 18 Oktober 1995. Aktivis lembaga ini juga mendapat beberapa
penghargaan dari dunia internasional. Di antaranya dari Committee to
Protect Journalist (CPJ), The Freedom Forum (AS), International Press
Institute (IPI-Wina) dan The Global Network of Editors and Media
Executive (Zurich).



Setelah Soeharto jatuh, pers mulai menikmati kebebasan. Jumlah
penerbitan meningkat. Setelah reformasi, tercatat ada 1.398 penerbitan
baru. Namun, hingga tahun 2000, hanya 487 penerbitan saja yang terbit.
Penutupan media ini meninggalkan masalah perburuhan. AJI melakukan
advokasi dan pembelaan atas beberapa pekerja pers yang banyak di-PHK
saat itu.



Selain bergugurannya media, fenomena yang masih cukup menonjol adalah
kasus kekerasan terhadap jurnalis. Berdasarkan catatan AJI, setelah
reformasi, kekerasan memang cenderung meningkat. Tahun 1998, kekerasan
terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus. Setahun kemudian, 1999,
menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000. Setelah itu, kuantitasnya
cenderung menurun: sebanyak 95 kasus (2001), 70 kasus (2002) dan 59
kasus (2003).



Kasus yang tergolong menonjol pada tahun 2003 adalah penyanderaan
terhadap wartawan senior RCTI Ersa Siregar dan juru kamera RCTI, Ferry
Santoro. AJI terlibat aktif dalam usaha pembebasan keduanya, sampai
akhirnya Fery berhasil dibebaskan. Namun, Ersa Siregar meninggal dalam
kontak senjata antara TNI dan penyanderanya, Gerakan Aceh Merdeka.



Pada saat yang sama, juga mulai marak fenomena gugatan terhadap media.
Beberapa media yang digugat ke pengadilan -- pidana maupun perdata--
adalah Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo dan
Majalah Trust. Atas kasus-kasus tersebut, AJI turut memberikan
advokasi.


Selain itu, AJI juga membuat program Maluku Media Center. Selain sebagai
safety office bagi jurnalis di daerah bergolak tersebut, program itu
juga untuk kampanye penerapan jurnalisme damai. Sebab, berdasarkan
sejumlah pengamat dan analis, peran media cukup menonjol dalam konflik
bernuansa agama tersebut. Hingga kini, program tersebut masih berjalan. (mengunduh dar website AJI)

Tidak ada komentar: